Sekitar pukul 1 dini hari kami
bangun. Mempersiapkan diri untuk memulai pendakian ke puncak. Cuaca cerah waktu
itu. Tapi angin berhembus kencang, dingin serasa menusuk tulang. Jam
menunjukkan jarumnya di angka 01.30, kami memulai pendakian. Tantangan terbesar
menuju puncak Rinjani adalah angin yang berhembus sangat kencang, ditambah
medan yang sedikit berpasir. Segala sesuatunya harus benar-benar dipersiapkan.
Matahari mulai menampakkan
wajahnya di ufuk timur, tapi perjalanan kami masih setengah. Setelah istirahat
dan sempat tertidur beberapa saat, kami melanjutkan perjalanan. Tapak demi
tapak melangkah melewati jalan berpasir bercampur kerikil. Waktu menunjukkan
pukul 7.30 saat saya menginjakkan kaki di puncak Rinjani. Hanya kami bertiga
yang sampai dipuncaknya. Dua teman saya tidak dapat melanjutkan perjalanan dan
menunggu ditengah. Hanya kata syukur yang dapat terucap dari mulut dan hati
saya. Ini bukan tentang pencapaian dari sebuah tujuan, ini adalah hadiah dari
sebuah mimpi dan penantian panjang. Sebuah mimpi lama yang baru terwujud, mimpi
yang saya yakini pasti akan terwujud akhirnya terwujud. Tentang bayangan
Rinjani yang hanya ada dalam pikiran, akhirnya semua jelas tergambar dihadapan
saya. Pesona dan keindahannya tidak dapat saya ucapkan dengan kata-kata. Semua
hanya masalah waktu.
Puncak 3.726 mdpl |
Setelah puas menikmati keindahan
Rinjani dari puncak, kami turun untuk kembali ke tenda. Belum puas dengan
keindahannya, perjalanan turun kita lalui dengan santai dan tidak terlalu
buru-buru. Menurut saya Rinjani terlihat indah dari semua sisi.
Beruntung barang-barang yang kami
tinggalkan di tenda tidak ada yang hilang satupun. Ternyata di Rinjani sering
terjadi kehilangan barang-barang milik pendaki, seperti kompor, baju dan
lainnya. Kecurigaan saya dan pendaki lain adalah porter yang menjadi pelakunya.
Karena siapa lagi yang akan melakukan itu disaat semua pendaki naik ke puncak
dan hanya porter yang menunggu di tenda. Sungguh keterlaluan menurut saya,
apakah mereka tidak berpikir dampaknya bagi pendaki yang kehilangan. Beruntung
tenda kami berdiri jauh dari kebanyakan tenda yang lainnya. Itulah salah satu
kenapa kita harus menggunakan jasa porter disana. Cerita ini baru saya dengar
setelah saya sampai dibawah.
Malam di Plawangan Sembalun |
Niatnya mau langsung melanjutkan
perjalanan turun ke Segara Anak, tapi apalah daya raga ini terlalu lelah untuk
melanjutkan perjalanan. Akhirnya kami sepakat untuk bermalam lagi di Plawangan.
Langit cerah malam ini, tanpa diiringi suara desahan lagi, karena tidak ada
tenda yang berdiri berdekatan dengan tenda kami. Keindahan yang sempurna.
Lanjut Part 3
Tidak ada komentar:
Posting Komentar